1
KEWARGANEGARAAN
1.1 PeNGERTIAN
Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang
dengannya membawa hak untuk
berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (citizenship). Di dalam
pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atauwarga kabupaten, karena
keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini
menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak
(biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (nationality). Yang membedakan
adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki
kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan
subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak
berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik
tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
Di bawah teori kontrak sosial,
status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan kewajiban. Dalam filosofi
"kewarganegaraan aktif", seorang warga negara disyaratkan untuk
menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas melalui partisipasi
ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk
memperbaiki penghidupan masyarakatnya. Dari dasar pemikiran ini muncul mata
pelajaran Kewarganegaraan (Civics) yang diberikan di sekolah-sekolah.
1.2
WARGA NEGARA INDONESIA
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang
ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau Provinsi, tempat ia terdaftar
sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang
unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia
telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga
negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum
internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur
dalam UU no. 12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang
menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah :
1.
setiap orang yang sebelum
berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2.
anak yang lahir dari perkawinan
yang sah dari ayah dan ibu WNI
3.
anak yang lahir dari perkawinan
yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau
sebaliknya
4.
anak yang lahir dari perkawinan
yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau
hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak
tersebut
5.
anak yang lahir dalam tenggang
waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan
ayahnya itu seorang WNI
6.
anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah dari ibu WNI
7.
anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai
anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau
belum kawin
8.
anak yang lahir di wilayah
negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status
kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9.
anak yang baru lahir yang
ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak
diketahui
10.
anak yang lahir di wilayah
negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki
kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11.
anak yang dilahirkan di luar
wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari
negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak
yang bersangkutan
12.
anak dari seorang ayah atau ibu
yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
1.
anak WNI yang lahir di luar
perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah
oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2.
anak WNI yang belum berusia
lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan
penetapan pengadilan
3.
anak yang belum berusia 18
tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah
atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4.
anak WNA yang belum berusia
lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai
anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang
termasuk dalam situasi sebagai berikut:
1.
Anak yang belum berusia 18
tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik
Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2.
Anak warga negara asing yang
belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan
pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan
seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik
Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara
sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak
berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan
pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu,
UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara
terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai
usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan
Pemerintah no. 2 tahun 2007.
Dari UU ini terlihat bahwa secara prinsip
Republik Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis;
ditambah dengan ius soli terbatas (lihat poin 8-10) dan
kewarganegaraan ganda terbatas (poin 11).
1.3 KEDUDUKAN WARGA NEGARA DI NEGARA INDONESIA
Dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan
itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena
kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii) kewarganegaraan melalui
pewarganegaraan atau ‘citizenship by naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan
melalui registrasi biasa atau ‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini
seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai
kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi
pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan
cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini.
Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia
juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan
kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu,
bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan
negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi
tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia.
Keturunan mereka ini dapat memperoleh status
kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu
jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila
yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia,
baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan
untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya
tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status
kewarganegaraan Indonesia.
Lagi pula sebab-sebab hilangnya status
kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik,
karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang
bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya
sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu
hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin
kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus
dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda
satu sama lain.
Yang pokok adalah bahwa setiap orang
haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga
terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan.
Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang
memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan
perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status
dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan
(naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana,
yaitu melalui registrasi biasa.
Di samping itu, dalam proses perjanjian
antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara
diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’
sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan
satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan
tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi
harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat
dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada
orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu,
sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara
yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada
prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya
menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk
mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh
banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang
memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di
Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini
sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status
kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai
warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai
dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat
dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa,
bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai
orang asing sama sekali.
1.3.1 Persamaan Kedudukan
Warga Negara
1. Landasan yang Menjamin Persamaan Kedudukan Warga
Negara
a.
Makna
Persamaan
Saling
menghargai dan menghormati orang lain tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras
dan antargolongan (SARA)
b.
Jaminan
Persamaan Hidup (Pendekatan Kultural)
Beberapa
nilai cultural bangsa Indonesia yang dapat dilestarikan :
1.
Nilai
Religius
2.
Nilai
Gotong Royong
3.
Nilai
Ramah Tamah
4.
Nilai
Cinta Tanah Air
c.
Jaminan
Persamaan Hidup dalam Konstitusi Negara
Jaminan
persamaan hidup warga Negara di dalam konstitusi negara adalah :
a)
Pembukaan
UUD 1945 alinea 1
b)
Sila-sila
Pancasila
c)
UUD
1945 dan peraturan peundangan lainnya
2.Berbagai Aspek Persamaan Kedudukan Sikap Warga Negara
a.
Bidang
Politik
- Kewajiban bela negara terhadap keberadaan dan kelangsungan NKRI
- Pengembangan sistem politik nasional yang demokratis, termasuk penyelenggaraan pemilu yang berkualitas.
- Meningkatkan partai politik yang mandiri dengan pendidikan kaderisasi yang intensif dan komprehensif.
- Memperketat dan menetapkan prinsip persamaan dan antidiskriminasi dalam kehidupan masyarakat bangsa dan negara.
a. Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan dalam lapangan kerja atau perbaikan
taraf hidup ekonomi dan menikmati hasil-hasilnya secara adil sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan darma baktinya yang diberikankepada masyrakat,
bangsa, dan negara
b.
Persamaan kedudukan di bidang
ekonomi untuk menciptakan sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dan
bersaing sehat, efisien, produktif, berday saing, serta mengembangkan kehidupan
yang layak anggota masyarakat.
c.
Bidang
Hukum
§ Dalam
pasal 27 UUD 1945 secara jelas disebutkan bahwa negara menjamin warga negaranya tanpa membedakan ras, agama, gender,
golongan, budaya, dan suku.
d.
Bidang
Sosial-Budaya
§ Persamaan
kedudukan di bidang sosial-budaya di antaranya :
- ü memperoleh pelayanan kesehatan
- ü kebebasan mengembangkan diri
- ü memperoleh pendidikan yang bermutu
- ü memelihara tatanan sosial.
3.Contoh Perilaku yang Menampilkan Persamaan Kedudukan
Warga Negara
- § Menghargai dan menghormati kedudukan individu dengan tidak menonjolkan perbedaan yang ada
- § Menjaga tali persaudaraan dalam suatu lingkungan
- § Negara menjamin persamaan kedudukan warga Negara, sehingga setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama
- § Tidak memicu konflik yang disebabkan karena terlalu mengagung-agungkan atau membangga-banggakan agama/ras/golongan pribadi
- § Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
- § Tidak mengambil hak-hak milik orang lain
1.3.2 Persamaan
Kedudukan Warga Negara Tanpa Membeda-bedakan Ras, Agama, Gender, Golongan,
Budaya dan Suku
Berikut upaya-upaya menghargai persamaan kedudukan warga negara :
a)
Setiap
kebijakan pemerintah hendaknya bertumpu pada persamaan dan menghargai
pluralitas
b)
Pemerintah
harus terbuka dan membuka ruang kepada masyarakat berperan serta dalam
pembangunan nasional tanpa membeda-bedakan antar sesama.
c)
Produk
hukum atau peraturan perundang-undangan harus menjamin persamaan warga Negara
d)
Partisipasi
masyarakat dalam politik harus memperhatikan kesetaraan sara dan gender
Penerapan prinsip persamaan kedudukan warga negara
antara lain :
a)
Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain
b)
Mengakui
dan memperlakukan manusia sesuai harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa
c)
Mengakui
persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin kedudukan
social, warna kulit dsb
d)
Mengembangkan
sikap tidak semena-mena terhadap orang lain
e)
Sebagai
warga Negara dan masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak
dan kewajiban yang sama
f)
Menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban
g)
Tidak
menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang
lain.
0 komentar:
Posting Komentar